Laman

Minggu, 09 Januari 2011

PLURALITAS MUSIK ETNIK SUMATERA UTARA

PLURALITAS
MUSIK ETNIK
SUMATERA UTARA

Oleh Poltak Sinaga



Riwayat hidup orang penting atau deskripsi benda-benda bersejarah cenderung menjadi bacaan yang sangat menarik, begitu pula halnya dengan biografi dari para komponis, proses evolusi alat-alat musik dari bentuk yang sangat sederhana hingga modern, serta terjadinya persebaran ragam instrumen musik dunia sejalan dengan ragam aktivitas manusia dengan berbagai misi seperti migrasi antar bangsa, antar pulau dan antar benua, misi perdagangan, penjajahan, imperialisme, kolonialisme, penyebaran ajaran agama dan sebagainya. Semua ini akan menjadi cermin pembentuk persepsi prespektif, dan berkontribusi secara signifikan terhadap perkembangan khasanah pengetahuan musik dalam berbagai aspek yang memberi warna-warni terhadap kepustakaan musik dunia.
Informasi tentang riwayat komponis dapat memberi penjelasan mengenai karya-karya kreatifnya yang meliputi berbagai fenomena sosiomusikologis yang berangsung dalam kurun waktu tertentu, termasuk perkembangan teknik berkomposisi, pengunaan dan rekayasa alat-alat musik, serta ragam teknik bermain musik yang lebih kompleks. Di sisi lain, tradisi penggunaan musik dalam siklus kehidupan etnik tertentu dapat memberi gambaran karakter eksotis suatu etnik yang merupakan bagian dari siklus kehidupannya.
Adanya kemiripan penggunaan alat-alat musik, dan repertoar antar enik di kawasan Sumatera Utara menunjukkan sebuah mozaik pluralitas. Beberapa nyanyian dari etnik lain seperti, Biring Manggis (Karo), Selayang Pandang (Melayu), Poco-poco (Ambon) sering digunakan sebagai bagian repertoar pada tradisi musik Batak Toba, dan mereka sangat menikmatinya. Berbagai studi kasus yang menyangkut pluralitas musik etnik Sumatera Utara bisa menjadi lahan studi penelitian untuk memahami keunikan dari kemajemukan tradisi berkesenian.
Wacana ini pernah dikemukakan Ben M Pasaribu (2004) bertajuk “musikalitas + etnisitas = pluralitas”. Dia mendambakan agar lebih digencarkan upaya penelitiah ilmiah menyangkut pluralitas musik di Sumatera Utara. Karena Sumatera Utara sebagai sebuah wacana sosiokultural, menyimpan kekayaan khazanah kesenian dan tradisi musik yang berbeda-beda, tradisi itu muncul dari sebuah proses evolusi kultural yang panjang. Wilayah Sumatera Utara terdiri dari sejumlah etnik yang mencakup; Melayu, Batak Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Angkola, Pakpak-Dairi, Nias, dan Pesisir. Ben juga mengatakan bahwa teori migrasi yang merupakan hasil penelitian dari para antropolog dalam berbagai sajian antropologi budaya, memiliki pertalian dengan teori persebaran instrumen musik. Dia memberi contoh bahwa xylophone (bilah-bilah kayu seperti garantung) dari Asia tenggara ke afrika Timur pada abad 5 SM, pada kurun yang sama instrumen musik petik tube zither (seperti sasando dari Flores) bermigrasi pula sampai ke Madagascar menjadi valiha.
Sejalan dengan pendapat itu, Triyono Bramantyo (2004) dalam bukunya ”Disseminasi Musik Barat di Timur” mengatakan, bahwa permulaan kontak pertama Indonesia dengan musik Barat dapat ditemukan dalam buku karya Kunst yang berjudul The Cultural Background of Indonesian Music. Dalam buku ini digambarkan tripel flute bambu flores, “bukan Yunani asli, paling tidak dikenal di sana”. Oleh karena itu, “tripel flute bambu Flores dianggap sebagai barang-barang kuno yang didatangkan dari Barat yang mempunyai irama khas” (Kunst, 1949, hal.9). Catatan yang berdasar pada informasi tersebut diambil dari seorang filsuf dan ahli musik Arab yang terkenal pada abad 11 yang bernama Al Farabi, yang membicarakan hal tersebut dalam karya utamanya dan memproduksikannya. Jaap Kunst memperkirakan bahwa “penggambaran ini dan juga alat musik, menunjukkan bahwa pengarang tidak pernah bisa melihat alat musik itu sendiri, karena keduanya tidak begitu akurat. Namun demikian karena Al Farabi memperoleh semua keuntungan dari budaya Yunani kuno, seseorang mungkin mengira bahwa dia mengetahui budaya Yunani atau paling tidak sumber bahasa dan budaya Yunani (Hellenistic) yang hilang beberapa tahun kemudian dimana tripel flute itu disebut-sebut …” (Kuns, ibid, hal. 8-9).
Hal-hal di atas merupakan serba sedikit fenomena kultural yang melingkupi arkeologi dan etnografi di Indonesia termasuk masyarakat Sumatera Utara, yang secara tidak langsung juga akan mengenai perkembangan keragaman musikalnya, yang kurang banyak diminati para etnomusikolog untuk ditelusuri dan bermuara pada kekayaan khazananah musik etnik.
Untuk lebih merangsang upaya penelitian ke arah pluralitas musik etnik Sumatera Utara Ben M. Pasaribu memberi bahan baku atau sketsa serta sedikit ramuan dan bahan penyedap. Katanya, ketika perkembangan masyarakat menghampiri periode modern, tahapan kesenian dari kehidupan yang menyatu dalam ritual-ritual, mengalami diversifikasi menuju kesenian yang asimilatif dengan kemampuan yang menyerap gagasan-gagasan dari luar komunitasnya. Ketika pada dasawarsa kedua abad ke 20 Tilhang Gultom menggagasi genre seni pentas yang bergaya variety show di Sitamiang, Samosir, kelak kemudian menjadi populer dengan sebutan Opera Batak dengan berbagai varian dan turunan kelompok-kelompok baru. Pada titik kulmilasinya, jenis seni pertunjukan ini menggabungkan musik, tari, akrobat, drama, komedi dan menjadi mesin uang yang penting dalam industri show-biz di tahap awal, serta menghasilkan sejumlah primadona aktor, aktres dan vokalis. Secara artistik, tidak hanya mengeksplorasi instrumen dan teknik musikal Batak, namun mengimitasi bezetting Tonil Bangsawan dan film-film Malaya, menyertakan instrumen saksofon, akordion, piano dan bahkan dalam rekaman yang dibuat Paul B. Pedersen terdengar suara gender dari Jawa (rekaman piringan “Batak Music” dengan program note yang ditulis Toenggoel P.Siagian). Meskipun perkem-bangan zaman menenggelamkan seni pentas yang memiliki kontribusi penting dalam perkembangan sejarah musik yang memiliki pluralitas ini, namun aspek media lain, misalnya melalui sandiwara audio dalam casette dan drama seri di televisi (opera Batak Metropolitan di TVRI Sumut) dan pergelaran vitalisasi (Opera Silindung) sampai di awal millenium ketiga masih menjadi bahan kajian yang menarik.
Dalam dunia musik hiburan, rekaman dan penciptaan lagu-lagu rakyat dengan teks bahasa lokal yang baru, sejak masa awal modern, sejumlah pencipta lagu dan pemusik dari Sumatera Utara telah menorehkan catatan sejarah yang berarti. Diantaranya Lingling Sitepu, Orkes Nataingan Simalungun, Pardolok Tolong Melody, Jaga Depari, Nahum Situmorang, Siddik Sitompul, Ismail Hutajulu, Taralamsyah Saragih, Romulus L.Tobing, Marihot Hutabarat (dengan kelompok Trio Marihot merekam album piringan hitam “Inang Sarge” yang dapat dianggap sebagai album musik jazz pertama di Indonesia) dan sebagainya. Tradisi penciptaan lagu-lagu ini diteruskan oleh Charles Hutagalung, Rinto Harahap, Reynold Panggabean, Rizaldi Siagian, Darma Purba, Hilman Padang, Yoen Tarigan, Lamser Girsang dan banyak lagi pemusik kreatif yang potensial yang telah menyumbangkan karyanya dalam khasanah yang menunjukkan musikalitas yang patut diperhitungkan dan dapat menjadi studi-studi kasus dalam penelitian sosio-musikilogis.
Pada kategori musik seriosa, klasik maupun yang masuk dalam daftar pencipta lagu nasional, paduan suara dan religious, nama-nama Liberty Manik, Cornel Simanjuntak, Amir Pasaribu, Lily Suahairy, Binsar Sitompul, Nortir Simanungkalit, Alfred Simanjuntak, EL Pohan, Bonar Gultom, Jerry Tarigan, Trisutji Zulham, Ronald Pohan, Achmad Bagi, Termasuk generasi, meskipun tidak seluruhnya relasi kultural yang sepenuhnya dan langsung dengan kehidupan musikal dan latar belakang sosio-kultural, seperti Marusya Nainggolan, Arjuna Hutagalung, Ben M Pasaribu, Irwansyah Harahap, Erucakra Mahameru, Daud Kosasih dan lain-lainnya yang memberi warna dalam perkembangan di Indonesia.
Dalam konteks keragaman musikal yang muncul dari keragaman etnik dan kreativitas personal, fenomena musik di Sumatera Utara, selain sebagai sebuah artistik yang dapat dinikmati melalui pengalaman maupun multimedia, sangat potensial juga menjadi objek kajian dan observasi dari sisi yang lebih akademikal dan akan pula memberi kontribusi yang sangat berarti dalam dunia musikologis.
Paparan tersebut menjadi sebuah rangsangan dan tantangan bagi komunitas etnomusikolog sebagai bahan kajian yang sangat berarti terhadap perkembangan musik etnik di nusantara khususnya Sumatera Utara. Setiap fenomena dari sejumlah fenomena musik dalam paparan itu dapat diidentifikasi dan diformulasikan menjadi sebuah teori baru melalui serangkaian penelitian yang sangat berguna bagai generasi mendatang. Misalnya, dari sejumlah deretan nama seniman dan komponis Sumatera Utara, yang telah banyak berbuat kebajikan dalam perkembangan musik dan kesenian Sumatera Utara tampaknya hingga kini belum masuk dalam kelompok prioritas sebagai studi kasus dalam penelitian musik yang dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan sosiomusikologis, etnomusikologis, linguistik dan filologis, semiotik, historis, psikologis, dan sebagainya. Jika kita melihat apa-apa saja yang sudah dikerjakan oleh para akademisi yang berkecimpung dalam dunia seni pertunjukan di Pulau Jawa khususnya Yogyakarta dan Jawa Tengah, ternyata mereka telah berbuat banyak dalam menyibak berbagai misteri dan fenomena musik yang pernah ada dan berkembang pada masa lalu.
Di satu sisi “sebuah nama komponis dan penata tari Simalungun” seperti tercecer dalam perjalanan kesenian Sumatera Utara khususnya di kalangan etnik Simalungun. Hidupnya bagai pepatah “habis manis sepah dibuang”. Dia adalah Taralamsyah Saragih (1918-1992) yang telah banyak mencipta dan menggubah lagu-lagu rakyat dan tari daerah Simalungun. Ketika saya mengamati karya musik Taralamsyah Saragih, setiap lagunya tertata dan tertulis rapi dengan penggunaan notasi musik Barat yang lengkap, hal ini mengindikasikan bahwa komponis ini selain memiliki imajinasi musik yang baik, juga memiliki wawasan musik yang luas. Simaklah lagu-lagu gubahan Taralamsyah seperti Serma Dengan-Dengan, Parsirangan, Sitalasari, Inggou Parjalang, Simodak-odak, Ilah Bolon, Poldung Sirotap Padan, dan puluhan lagu lainnya tentu dapat menjadi sebuah studi kasus dalam transkripsi etnomusikologis untuk menemukan skala dan gaya vokal musik etnik Simalungun. Pada masa Orde Lama Taralamsyah telah memperkenalkan keragaman musik dan tari Sumatera Utara ke negeri Cina. Namun pada akhirnya dia dilupakan orang, kemudian berkarya di Provinsi Jambi menginventarisir musik dan tari Jambi, lalu kembali lagi dilupakan. Apakah harus begini?


DAFTAR PUSTAKA

Bramantyo,Triyono. 2004. Disseminasi Musik Barat Di Timur. Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia.

Edward, Pieter, Johannes Fernandus 2003. Alat Musik Jawa Kuno. Yogyakarta : Yayasan Mahardhika

Parto, Suhardjo, FX. 1996. Musik Seni Barat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Pasaribu, Ben M. 2004. Musikalitas + Etnisitas = Pluralitas. Medan : Pusat Dokumentasi Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen.

Soedarsono, RM. 1999. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan Dan Seni Rupa. Jakarta : MSPI.


Tentang Penulis

Poltak Sinaga lahir di Deli Serdang, 1 Nopember 1961. Guru di SMK Negeri 11 Medan. Menyelesaikan studi S1 Prodi Seni Musik, Jurusan Sendratasik FPBS IKIP Medan Tahun 1996 dengan judul skripsi “Korelasi Penguasaan Organologi Dengan Kemampuan Orkestrasi Musik Pop di Sekolah Menengah Musik Negeri Medan. Gemar mengamati perkembangan dan degradasi berbagai gendre musik lalu menulisnya di media cetak Aktif berpartisipasi dalam pelatihan pembelajaran musik bagi guru-guru SD se Sumatera Utara. Sebagai Sekretaris Bidang Advokasi Asosiasi Pendidik Seni Indonesia (APSI) Sumatera Utara. Menulis buku Seni Musik Untuk Tingkat SD, SMP dan SMA.
e-mail : naga_poltak@yahoo.com